Sejarah Jamu: Bagian ke-1
Berikut kita dengarkan bersama-sama kelanjutan perkembangan Jamu di Indonesia.
Sebenarnya setelah saya mencari referensi terkait sejarah Jamu, ada banyak versi yang membahasnya. Diantaranya adalah referensi yang akan kita paparkan bersama di sini.
- Sebelum Abad 18
Dengan ditemukannya fosil di tanah Jawa berupa lumping/lumpang, alu, dan pipisan yang terbuat dari batu, menunjukkan bahwa penggunaan ramuan untuk kesehatan telah dimulai sejak zaman meso-neolitikum.
Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak abad 5 M antara lain relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran abad 8-9 M.
Usada Bali merupakan uraian penggunaan Jamu yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Sansekerta, dan bahasa Bali di daun lontar pada tahun 991-1016 M.
Istilah djamoe dimulai sejak abad 15-16 M yang tersurat dalam primbon di Kartasura. Uraian Jamu secara lengkap terdapat di serat centhini (Suluk Tembangraras) yang ditulis oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan R.Ng Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V tahun 1810-1823 M.
Kerja keempatnya menghasilkan karya setebal 4000 halaman lebih yang terbagi atas selusin jilid. Pada tahun 1850, R.Atmasupana II menulis sekitar 1734 ramuan Jamu.
Djamoe merupakan singkatan dari djampi yang berarti doa atau obat dan oesodo (husada) yang berarti kesehatan. Dengan kata lain Djamu berarti doa atau obat untuk meningkatkan kesehatan. Pemanfaatan Jamu di berbagai daerah dan/atau suku bangsa di Indonesia, selain Jawa belum tercatat dengan baik.
- Abad ke-18 sampai ke-20
Menurut Pols, sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad ke-17, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris, maupun Jerman tertarik mempelajari Jamu, sampai beberapa di antaranya menuliskannya ke dalam buku, misalnya “Practical Observations on a Number of Javanese Medications” oleh dr. Carl Waitz pada tahun 1829.
Isi buku antara lain menjelaskan bahwa obat yang lazim digunakan di Eropa dapat digantikan oleh herbal/tumbuhan (Jamu) Indonesia, misalnya rebusan sirih (Piper bettle) untuk batuk, rebusan kulit kayu manis (Cinnamomum) untuk demam persisten, sedangkan daunnya dipakai untuk gangguan pencernaan.
Di lokasi yang sekarang menjadi RS Gatot Subroto (The Weltevreden Military Hospital), pada tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan menginstruksikan kepada para dokter agar menggunakan herbal untuk pengobatan.
Hasil pengobatan tersebut dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies. Seorang ahli farmasi, Willem Gerbrand Boorsma yang saat itu bertugas sebagai direktur Kebun Raya Bogor, pada tahun 1892 berhasil mengisolasi bahan aktif tumbuhan dan membuktikan efeknya secara farmakologis yaitu morfin, kini, dan koka.
Pada abad ke-19 diterbitkan buku (900 halaman) tentang pemanfaatan Jamu di Indonesia oleh dr. Cornelis L. van der Burg yaitu Materia Indica. Dengan ditemukan teori baru tentang bakteri oleh Pasteur dan ditemukannya sinar X, pemanfaatan Jamu menurun drastis pada awal tahun 1900.
Pada akhir tahun 1930, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai upaya preventif untuk menggantikan obat yang sangat mahal.
Pada tahun 1939, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengadakan konferensi dan mengundang dua orang pengobat tradisional untuk mempraktekkan pengobatan tradisional di depan anggota IDI. Mereka tertarik untuk mempelajari seni pengobatan tradisional Indonesia dan pada tahun yang sama, di Solo diadakan konferensi I tentang Jamu yang dihadiri juga oleh para dokter.
Pada tahun 1940, bertepatan dengan adanya kongres kedua Asosiasi Ilmuwan Indonesia, diadakan pameran “Ramuan Tradisional Indonesia”. Ini merupakan langkah awal perkembangan Jamu Indonesia dan menjadikannya setara dengan obat-obat pada saat itu.
Berikutnya tahun 1942-1944, saat masa kekuasaan Jepang, Pemerintah Jepang mendukung Jamu Indonesia dengan membentuk Komite Obat Tradisional Indonesia pada 1944. Dengan adanya perhatian dari pemerintah, perusahaan-perusahaan Jamu yang dulunya sudah berdiri semakin pesat perkembangannya, seperti Jamu Djago, Nyonya Meneer, dan Jamu Iboe. Lalu tidak kalah dengan Jamu Sido Muncul dan Jamu Air Mancur yang memulai karirnya sekitar tahun 1940-an (Beers, 2001).
Pada tahun 1966, diadakan konferensi II tentang Jamu, diadakan di Solo untuk mengangkat kembali penggunaan Jamu setelah hampir 20 tahun terlupakan terutama akibat Perang Dunia II yang berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Sejak saat itu, banyak pabrik Jamu bermunculan terutama di daerah Jawa Tengah.
Demikian lanjutan sejarah perkembangan Jamu yang bisa kita baca, selanjutnya tetap pantau blog ini untuk memperoleh perkembangan jamu selanjutnya.
Terimakasih.
REFERENSI
Pols H. The triumph of jamu. Diunduh dari http:// www.insideindonesia. org/stories/the-triumph-of- jamu-26061327, diakses tanggal 10 November 2017
Purwaningsih, EH., 2013, Jamu, obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia, Jamu, Obat Tradisional, Vol. 1 no.2
Webster A. Herbal. Diunduh dari www.indonesianembassy.ir/english/ images/ Indonesian%20Herbal.pdf, diakses tanggal 8 November 2017
0 komentar:
Posting Komentar