JAMU NUSANTARA

Jamu Indonesia Menjamin Kualitas Hidup Dunia.

SAINTIFIKASI JAMU

Pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.

SEJARAH JAMU

Flashback bagaimana Jamu menjadi budaya nenek moyang di Indonesia.

PANDUAN OBAT TRADISIONAL

Memberikan pedoman dalam upaya pengembangan Obat Tradisional.

LOGO JAMU

Jamu Indonesia terdiri dari: Jamu; Obat Herbal Terstandar (OHT);Fitofarmaka.

Laman

Minggu, 12 November 2017

Sejarah Jamu (Bagian 3): Perkembangan Abad ke-21

Sejarah perkembangan jamu selanjutnya, akan kita jelajahi di bawah ini. Bagi kalian yang belum membaca sejarah Jamu bagian ke-1 dan bagian ke-2, bisa klik tautan berikut.
Sejarah Jamu Bagian 2
Sejarha Jamu Bagian 1


Para pakar Jamu baik peneliti di institusi pendidikan, lembaga pemerintahan maupun industri Jamu terus berjuang agar Jamu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.  \Berbagai seminar tentang Jamu dan/atau Obat Tradisional Indonesia mulai meningkat. 
Masing-masing kementerian berlomba-lomba menyusun peta jalan (road map) tentang Jamu/obat tradisional Indonesia. 
Siapa sebenarnya yang menjadi koordinator penyusunan peta jalan tersebut juga tidak jelas, sampai akhirnya disepakati akan dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Ekonomi dan Industri yang akan menyiapkan peristiwa nasional Hari Kebangkitan Jamu dan Jamu dijadikan brand Indonesia pada tahun 2007. 
Selanjutnya, dikeluarkan keputusan Menteri Kesehatan No.381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KOTRANAS) dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1109/Menkes/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. Tentang KOTRANAS

Pada tanggal 27 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan Presiden Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudoyono, di Istana Merdeka sekaligus meresmikan Jamu sebagai brand Indonesia. 
Gelora Jamu seakan mewarnai kembali kebijakan pemerintah setelah pencanangan tersebut yaitu dalam bentuk Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 
Pada pasal 48 ayat 1 (2) disebutkan bahwa dari 17 upaya kesehatan, tercantum upaya pelayanan kesehatan tradisional yaitu pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan ketrampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan  sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 
Pada saat bersamaan, Kementerian Kesehatan menyusun Standar Pelayanan Medik Herbal yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 121/Menkes/SK/II/2008 diikuti dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No 261/Menkes/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia edisi pertama. 

Pola pikir PB IDI juga berubah dan mendukung kebijakan pemerintah tersebut dengan membentuk Bidang Kajian Pengobatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer pasca Muktamar IDI ke-27 di Palembang tahun 2009. 
Dilian pihak, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) FK pada tahun 2010 menyusun rekomendasi pemanfaatan Jamu, hasil seminar nasional “Prospek Pengembangan Jamu di Indonesia Menuju Indonesia Sehat: Harapan dan Tangtangannya” yang kemudian dikirimkan kepada Menteri Kesehatan RI.

Beberapa pertemuan nasional tentang Jamu mengusulkan penambahan kata Jamu kepada BPOM RI yaitu Peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal terstandar dan Fitofarmaka, menjadi “Jamu Obat Tradisional, Jamu Obat Herbal Terstandar dan Jamu Fitofarmaka”. 
Sayangnya, hingga 3 kali pergantian Kepala Badan POM, usulan tersebut masih tetap dalam pertimbangan.
Pada tahun 2007, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI memprakarsai isian kuesioner Riskesdas 2007 tentang pemanfaatan Jamu oleh masyarakat Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa 35,7% masyarakat menggunakan Jamu dan lebih dari 85% di antaranya mengakui bahwa Jamu bermanfaat bagi kesehatan. 
Riskesdas 2010 ternyata menunjukkan peningkatan hasil yaitu 59,12% dari 35,7% dan 95,6% dari 85%.
Selain pencapaian hasil yang bermakna dalam riskesdas 2007 dan 2010, disiapkan pula program Saintifikasi Jamu (SJ) untuk membuktikan secara ilmiah bahwa jamu efektif untuk indikasi tertentu dengan metode penelitian berbasis pelayanan.

Pada awal tahun 2010, diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/Menkes/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian berbasis Pelayanan Kesehatan. Hingga saat ini, telah menghasilkan 200 dokter yang tersebar di hampir seluruh wilayah/provinsi/kabupaten di Indonesia.
Masalah baru timbul, ketika mereka tidak mendapatkan SBR dari Dinas Kesehatan Kota, tempat mereka berasal dengan alasan Dinas Kesehatan tidak mengetahui program SJ. 
Masalah lainnya adalah ketika PB IDI pasca-Muktamar IDI ke-28 di Makassar pada tahun 2012 menghapuskan Bidang Kajian Pengobatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer, sehingga secara tidak langsung nota kesepahaman (MoU) antara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI dengan Ketua Umum PB IDI tidak berlaku lagi. 
Akibatnya, dokter lulusan program SJ tidak akan mendapatkan izin praktik penelitian berbasis pelayanan jamu di tempat mereka bekerja.

Penelitian jamu tetap berlangsung di institusi pendidikan tinggi di Indonesia, bahkan beberapa di antaranya telah melakukan uji klinik, namun, kembali timbul kendala saat akan dilakukan registrasi di BPOM. 
Registrasi ternyata hanya diberikan kepada industri jamu yang mengusulkan hasil penelitiannya untuk mendapatkan kriteria sebagai jamu/obat tradisional atau obat herbal terstandar atau fitofarmaka dengan kewajiban mengikuti pedoman uji klinik BPOM.
Dengan demikian, hasil penelitian perguruan tinggi tersebut tidak dapat dikembangkan ke pemasaran dan lagi-lagi banyak dokter belum dapat menerimanya sebagai bukti ilmiah karena tidak teregistrasi di BPOM. 
Uji klinik yang disyaratkan BPOM masih menggunakan pedoman uji klinik untuk obat konvensional. Jadilah keberadaan dan kemanfaatan jamu terpuruk di negara sendiri karena kebijakan yang kaku dan sulit dibenahi, masing-masing mempertahankan kebenarannya yang juga diwariskan secara turun temurun tanpa mengikuti perkembangan dunia.
Setelah Indonesia mengikuti empat kali konferensi Herbal Medicine se ASEAN, hasil konferensi ke-4 di Kuala Lumpur tahun 2012 membuka dan memberi pencerahan kepada pemegang kebijakan di BPOM untuk mengevaluasi dan menyusun pedoman uji klinik khusus jamu/ obat tradisional Indonesia. 
Kriteria registrasi ditambah dari 3 menjadi 5 dengan memasukkan hasil uji praklinik (A) dan uji klinik (B) dari institusi pendidikan tinggi yaitu (A) di antara jamu dan OHT dan (B) di antara OHT dan fitofarmaka. 
Semoga terealisasi.

Kamis, 09 November 2017

Sejarah Jamu: Bagian ke-2

Artikel ini lanjutan dari informasi sebelumnya yang bisa Kalian baca lewat link dibawah ini.
Sejarah Jamu: Bagian ke-1

Berikut kita dengarkan bersama-sama kelanjutan perkembangan Jamu di Indonesia.
Sebenarnya setelah saya mencari referensi terkait sejarah Jamu, ada banyak versi yang membahasnya. Diantaranya adalah referensi yang akan kita paparkan bersama di sini.

  • Sebelum Abad 18

Dengan ditemukannya fosil di tanah Jawa berupa lumping/lumpang, alu, dan pipisan yang terbuat dari batu, menunjukkan bahwa penggunaan ramuan untuk kesehatan telah dimulai sejak zaman meso-neolitikum. 
Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak abad 5 M antara lain relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran abad 8-9 M. 
Usada Bali merupakan uraian penggunaan Jamu yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Sansekerta, dan bahasa Bali di daun lontar pada tahun 991-1016 M. 
Istilah djamoe dimulai sejak abad 15-16 M yang tersurat dalam primbon di Kartasura. Uraian Jamu secara lengkap terdapat di serat centhini (Suluk Tembangraras) yang ditulis oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan R.Ng Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V tahun 1810-1823 M. 
Kerja keempatnya menghasilkan karya setebal 4000 halaman lebih yang terbagi atas selusin jilid. Pada tahun 1850, R.Atmasupana II menulis sekitar 1734 ramuan Jamu. 
Djamoe merupakan singkatan dari djampi yang berarti doa atau obat dan oesodo (husada) yang berarti kesehatan. Dengan kata lain Djamu berarti doa atau obat untuk meningkatkan kesehatan. Pemanfaatan Jamu di berbagai daerah dan/atau suku bangsa di Indonesia, selain Jawa belum tercatat dengan baik.

  • Abad ke-18 sampai ke-20

Menurut Pols, sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad ke-17, para dokter berkebangsaan Belanda, Inggris, maupun Jerman tertarik mempelajari Jamu, sampai beberapa di antaranya menuliskannya ke dalam buku, misalnya “Practical Observations on a Number of Javanese Medications” oleh dr. Carl Waitz pada tahun 1829. 
Isi buku antara lain menjelaskan bahwa obat yang lazim digunakan di Eropa dapat digantikan oleh herbal/tumbuhan (Jamu) Indonesia, misalnya rebusan sirih (Piper bettle) untuk batuk, rebusan kulit kayu manis (Cinnamomum) untuk demam persisten, sedangkan daunnya dipakai untuk gangguan pencernaan. 
Di lokasi yang sekarang menjadi RS Gatot Subroto (The Weltevreden Military Hospital), pada tahun 1850, seorang ahli kesehatan Geerlof Wassink membuat kebun tanaman obat dan menginstruksikan kepada para dokter agar menggunakan herbal untuk pengobatan. 
Hasil pengobatan tersebut dipublikasikan di Medical Journal of the Dutch East Indies. Seorang ahli farmasi, Willem Gerbrand Boorsma yang saat itu bertugas sebagai direktur Kebun Raya Bogor, pada tahun 1892 berhasil mengisolasi bahan aktif tumbuhan dan membuktikan efeknya secara farmakologis yaitu morfin, kini, dan koka. 
Pada abad ke-19 diterbitkan buku (900 halaman) tentang pemanfaatan Jamu di Indonesia oleh dr. Cornelis L. van der Burg yaitu Materia Indica. Dengan ditemukan teori baru tentang bakteri oleh Pasteur dan ditemukannya sinar X, pemanfaatan Jamu menurun drastis pada awal tahun 1900.
Pada akhir tahun 1930, dr. Abdul Rasyid dan dr. Seno Sastroamijoyo menganjurkan penggunaan jamu sebagai upaya preventif untuk menggantikan obat yang sangat mahal. 
Pada tahun 1939, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengadakan konferensi dan mengundang dua orang pengobat tradisional untuk mempraktekkan pengobatan tradisional di depan anggota IDI. Mereka tertarik untuk mempelajari seni pengobatan tradisional Indonesia dan pada tahun yang sama, di Solo diadakan konferensi I tentang Jamu yang dihadiri juga oleh para dokter. 
Pada tahun 1940, bertepatan dengan adanya kongres kedua Asosiasi Ilmuwan Indonesia, diadakan pameran “Ramuan Tradisional Indonesia”. Ini merupakan langkah awal perkembangan Jamu Indonesia dan menjadikannya setara dengan obat-obat pada saat itu. 
Berikutnya tahun 1942-1944, saat masa kekuasaan Jepang, Pemerintah Jepang mendukung Jamu Indonesia dengan membentuk Komite Obat Tradisional Indonesia pada 1944.  Dengan adanya perhatian dari pemerintah, perusahaan-perusahaan Jamu yang dulunya sudah berdiri semakin pesat perkembangannya, seperti Jamu Djago, Nyonya Meneer, dan Jamu Iboe. Lalu tidak kalah dengan Jamu Sido Muncul dan Jamu Air Mancur yang memulai karirnya sekitar tahun 1940-an (Beers, 2001).
Pada tahun 1966, diadakan konferensi II tentang Jamu, diadakan di Solo untuk mengangkat kembali penggunaan Jamu setelah hampir 20 tahun terlupakan terutama akibat Perang Dunia II yang berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Sejak saat itu, banyak pabrik Jamu bermunculan terutama di daerah Jawa Tengah.

Demikian lanjutan sejarah perkembangan Jamu yang bisa kita baca, selanjutnya tetap pantau blog ini untuk memperoleh perkembangan jamu selanjutnya.
Terimakasih.

Senin, 06 November 2017

PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM INDONESIA


Apakah kalian semua pernah mendengar istilah Jamu? Obat Herbal Terstandar? atau Fitofarmaka?

Mungkin bagi sebagian masyarakat belum banyak tahu menahu tentang pembagian tersebut. Umumnya kita tahunya bahwa obat tradisional di Indonesia itu ya istilahnya Jamu.

Pemerintah melalui keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.4.2411 membuat ketentuan pengelompokan dan penandaan Obat Bahan Alam Indonesia.  Keputusan tersebut telah ditetapkan sejak 17 Mei 2004 ketika Bapak Sampurno menjabat sebagai Kepala BPOM.

Obat Bahan Alam Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi Jamu,  Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka.

Berikut penjelasan lengkap pengelompokan Obat Bahan Alam Indoenesia:

  • JAMU

Jamu harus memenuhi kriteria berikut:
Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris; 
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.

Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata- kata: " Secara tradisional digunakan untuk ...", atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.

  • Obat Herbal Terstandar (OHT)


Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria berikut:
Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;  
Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik; 
Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi;
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.


  • FITOFARMAKA


Fitofarmaka harus memenuhi kriteria berikut:
Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan; 
Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik; 
Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi; 
Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi



Perkembangan terakhir yang saya ketahui akan ada perubahan pengelompokan Obat Bahan Alam Indonesia.  

Hal ini berdasar hasil rapat kerja Nasional GP Jamu pada tanggal 26 Mei 2016 bertempat di Jakarta. Rapat tersebut dikkoordinir oleh Drs. Ondri Dwi Sampurna, M.Si., Apt., selaku Kepala Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Suplemen.

Perubahan pengelompokan tersebut sebagai berikut:



Demikian sekiranya informasi terkait pengelompokkan Obat Bahan Alam Indonesia. Semoga membaw banyak manfaat bagi para Pembaca sekalian.

Saintifikasi Jamu: Buktikan Rasa Jamu Mu

Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan

Pernahkan kalian merasa ragu-ragu? Yakinlah, pasti semua orang pernah merasakanya.
Apa yang harus dilakukan ketika dilanda rasa ragu? Pembuktian!

Pembuktian dibutuhkan ketika kita ragu akan suatu kebenaran. Siapa sih yang mau dicintai tanpa ada pembuktian terhadap cinta itu? Saya pikir tidak ada yang mau (hehehe)

Ya, pembuktian menjadi sesuatu hal yang sangat penting, apalagi dalam dunia kesehatan. Apakah Anda tahu, dalam menulisakan resep obat, dokter/dokter gigi tidak asal memberikan obat jika belum diketahui bukti ilmiah (evidence based medicine) dari obat tersebut? Dan itu sudah ada dalam peraturan dalam bentuk Undang-Undang.

Praktik kedokteran memiliki payung hukum di bawah UU No.29 tahun 2004. Pasal 44 ayat 1 mengamanatkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi.

Pasal 51 huruf a mengamanatkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. 

Tahu kan betapa telitinya tenaga kesehatan bekerjasama dalam menyembuhkan pasien. Penjabaran lebih rinci mengenai standar pelayanan kedokteran ini diterjemahkan dalam Permenkes No.1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, yang secara prinsip menganut filosofi evidence base medicine.

Ada tidaknya evidence based medicine (EBM) dari Obat Tradisional ini secara tidak langsung mengecilkan peluang Jamu untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan secara resmi. Oleh karena itu, berkembanglah usaha untuk mendapatkan bukti ilmiah dari Jamu.

Usaha pembuktian tersebut tertuang dalam Saintifikasi Jamu yaitu pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. 

Saintifikasi Jamu ini menjembatani amanah UU No. 36 tahun 2009 dan juga amanah Presiden RI tentang pengembangan Jamu Indonesia dengan UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Saintifikasi Jamu tersebut memiliki beberapa tujuan yaitu (1) memberikan landasan bukti ilmiah (evidence base) penggunaan Jamu melalui penelitian berbasis pelayanan, (2) mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, (3) meningkatkan penyediaan Jamu yang aman dan berkhasiat teruji secara ilmiah, baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Program Saintifikasi Jamu yang menggunakan pendekatan penelitian berbasis pelayanan, merupakan suatu terobosan (breakthrough) dalam rangka mempercepat penelitian Jamu di sisi hilir (sisi pelayanan). 

Sebagaimana kita ketahui penelitian terkait Jamu (tanaman obat Indonesia) sudah banyak sekali dikerjakan di sisi hulu, yakni penelitian terkait budidaya dan studi pre-klinik, baik in-vitro maupun in-vivo (uji hewan). 

Sementara uji klinik pada manusia terkait khasiat dan kemanan masih sangat terbatas (Badan Litbang Kesehatan, 2011).

Dalam program Saintifikasi Jamu, di samping penelitiannya sendiri, yang krusial adalah pengembangan infrastruktur jejaring dokter Saintifikasi Jamu (dokter SJ), yang berfungsi sebagai jejaring penelitian berbasis pelayanan.

Dengan pengembangan infrastruktur jejaring dokter SJ maka akan berkembang ujung tombak pelaku uji klinis jamu, sehingga penelitian di sisi hilir dapat diakselerasi.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa dua hal penting untuk dapat berjalannya penelitian klinis (termasuk uji klinis) adalah adanya himpunan pasien (subjek) dan himpunan peneliti. 

The crucial points of clinical research, there must be available the pooling patients and the pooling of researchers (Goh Pik Pin, 2010). 

Dengan adanya jejajaring dokter SJ, baik praktik mandiri, praktik di puskesmas, maupun praktik di poli komplementer dan alternatif rumah sakit, maka akan dapat disediakan pasien sebagai subjek penelitian uji klinik jamu dan juga dokter peneliti jamu (alumni dokter SJ).

Minggu, 05 November 2017

Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KOTRANAS)


Warisan kekayaan budaya nenek moyang kita sungguh banyak ragamnya. Pengobatan tradisional adalah salah satu macam warisannya. Mari kita sembari membayangkan kekayaan itu. Indonesia memiliki 300 kelompok etnis dan 1340 suku bangsa, data tersebut berdasar sensus BPS 2010. Jika masing-masing kelompok etnis dan suku bangsa minimal mempunyai 50 ramuan tradisional, berapa banyak ragam ramuan yang akan kita miliki? Menakjubkan jumlahnya!

Kekayaan melimpah yang tidak terkelola dengan baik, tidak akan bisa dimanfaatkan dengan optimal. Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan khusus yang mengatur tentang Obat Tradisional di Indonesia. 
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 381/Menkes/SK/III/2007 tanggal 27 Maret 2007 dikeluarkan kebijakan terkait obat tradisional yang ada di Indonesia.

Kebijakan ini diharapkan bisa digunakan sebagai landasan, arah dan pedoman dalam pengembangan dan peningkatan obat tradisional yang bermutu, aman, berkhasiat dan teruji secara ilmiah. Selain itu, kebijakan tersebut dibuat dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tantangan strategis, baik internal maupun eksternal, sejalan dengan sistem kesehatan nasional.

Berikut penjabaran tujuan KOTRANAS:
1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan (sustainable use) untuk digunakan sebagai obat tradisional dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan.
2. Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar mempunyai daya saing tinggi sebagai sumber ekonomi masyarakat dan devisa Negara yang berkelanjutan.
3. Tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat, dan keamanannya, teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal.
4. Menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul yang memberikan multi manfaat yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memberikan peluang kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Obat tradisional pada KOTRANAS mencakup bahan atau ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral termasuk biota laut atau sediaan galenik yang telah digunakan secara turun temurun maupun yang telah melalui uji pra-klinik/klinik seperti obat herbal terstandar dan fitofarmaka, untuk menjembatani pengembangan obat tradisional ke arah pemanfaatannya dalam pelayanan kesehatan formal dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia.

KOTRANAS adalah kebijakan tentang obat tradisoinal secara menyeluruh dari hulu ke hilir, meliputi budidaya dan konservasi sumber daya obat, keamanan dan khasiat obat tradisional, mutu, aksesibilitas, penggunaan yang tepat, pengawasan, penelitian dan pengembangan, industrialisasi dan komersialisasi, dokumentasi dan database, pengembangan sumber daya manusia serta pemantauan dan evaluasi.


ROADMAP JAMU 2011-2025: VISI MISI

  • VISI
Jamu Indonesia menjamin kualitas hidup dunia

  • MISI
1. Meningkatkan keamanan, khasiat, manfaat, dan mutu Jamu
2. Meningkatkan kemandirian bahan baku Jamu
3. Mengembangkan industri Jamu berkelas dunia
4. Memantapkan pasar lokal dan mendorong pasar global
5. Meningkatkan pemanfaatan Jamu dalam dalam pelayanan kesehatan
6. Jamu sebagai brand image bangsa Indonesia

  • TUJUAN
Pengembangan Jamu Indonesia bertujuan untuk mewujudkan Jamu Indonesia yang aman, berkhasiat, dan bermutu dengan dukungan industri yang mandiri dan berdaya saing pada pasar global dan terlaksananya integrasi Jamu dalam pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat


  • ARAH
Arah pengembangan jamu nasional terbagi ke dalam 4 yaitu :
1. Pengembangan jamu untuk kesehatan (fitofarmaka)
2. Pengembangan jamu untuk kecantikan dan kebugaran
3. Pengembangan jamu untuk makanan dan minuman
4. Pengembangan jamu untuk wisata dan keagamaan.




Jumat, 03 November 2017

JAMU: Warisan Budaya Bangsa Indonesia (Pendahuluan)

Pegagan (Centella asiatica), Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb), Sambiloto (Andrographis paniculata), Kencur (Kaempferia galangal), dan Jahe (Zingiber officinale), adalah lima tumbuhan unggul untuk Jamu (Saerang, 2009)


Rempah-rempah
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar ke dua di dunia, mengikuti hutan hujan Amazon di Brazil, diungkapkan dengan adanya jumlah yang tinggi tumbuhan obat asli (indigenous) Indonesia. Berdasarkan sumber kekayaan ini, penggunaan tumbuhan obat sangatlah penting. Di daerah pedesaan bahkan tumbuhan obat menjadi pilihan pertama/ the first choice dalam pengobatan suatu penyakit. Sebagian besar penduduk Indonesia telah menggunakan obat-obatan herbal tradisional yang lebih popular disebut sebagai Jamu.

Jamu berasal dari Bahasa Jawa, yakni kata djampi dan oesodo. Djampi berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa atau aji-aji, sedangkan usodo berarti kesehatan. Jamu sudah dikenal berabad-abad di Indonesia, pertama kali dalam lingkungan Keraton atau Istana, yaitu Kesultanan Djogjakarta dan Kasunanan Surakarta. Zaman dulu, resep jamu hanya dikenal di kalangan Keraton dan tidak diperbolehkan ke luar di masyarakat. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, orang-orang di lingkungan Keraton, mulai mengajarkan peracikan Jamu kepada masyarakat di luar Keraton sehingga Jamu berkembang sampai saat ini, tidak saja hanya di Indonesia, tetapi sampai ke luar negeri. Tahun 1900, banyak bermunculan industri jamu di Indonesia. Mereka meracik Jamu dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan higienis dengan menggunakan lima tanaman unggul, yakni Pegagan (Centella asiatica), Temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb), Sambiloto (Andrographis paniculata), Kencur (Kaempferia galangal), dan Jahe (Zingiber officinale), yang nantinya akan digunakan menjadi bahan jamu yang dapat mengatasi berbagai macam penyakit (Saerang, 2009).
Simplisia Tanaman Obat


Hari ini, Jamu telah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan arti yang sama yaitu Jamu (Riswan dan Roemantyo, 2002). Saat ini Jamu sedang dikembangkan dari penanganan tradisional menjadi industrial (skala lebih besar). Tetapi bagaimanapun, Jamu masih kurang popular seperti obat tradisional di negara lainnya, misalnya China dengan Tradtional Chinese Medicine (TCM), Jepang dengan Kampo, dan India dengan Ayurveda.

Jamu Gendong adalah jenis jamu tradisional yang dijual tanpa label, dan baru disiapkan (tanpa pengawetan) dari bahan tumbuhan di warung, kios-kios sepanjang jalan di Indonesia (Limyati dan Juniar, 1998; Suharmiati, 2003). Jamu Gendong disajikan langsung kepada siapa yang memesannya. Penjual harus membawa Jamu dari pintu ke pintu (door to door). Kata “gendong” itu sendiri artinya yaitu membawa sesuatu di belakang tubuh/punggung. Jamu segar diletakkan dalam setiap botol di bamboo atau keranjang rotan. Dan mereka menggunakan shal panjang lebar yang disebut selendang untuk membawa keranjang di bagian belakang (Risman dan Roemantyo, 2002).