Sejarah perkembangan jamu selanjutnya, akan kita jelajahi di bawah ini. Bagi kalian yang belum membaca sejarah Jamu bagian ke-1 dan bagian ke-2, bisa klik tautan berikut.
Sejarah Jamu Bagian 2
Sejarha Jamu Bagian 1
Sejarah Jamu Bagian 2
Sejarha Jamu Bagian 1
Para pakar Jamu baik peneliti di institusi pendidikan, lembaga pemerintahan maupun industri Jamu terus berjuang agar Jamu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. \Berbagai seminar tentang Jamu dan/atau Obat Tradisional Indonesia mulai meningkat.
Masing-masing kementerian berlomba-lomba menyusun peta jalan (road map) tentang Jamu/obat tradisional Indonesia.
Siapa sebenarnya yang menjadi koordinator penyusunan peta jalan tersebut juga tidak jelas, sampai akhirnya disepakati akan dikoordinasi oleh Kementerian Koordinator Ekonomi dan Industri yang akan menyiapkan peristiwa nasional Hari Kebangkitan Jamu dan Jamu dijadikan brand Indonesia pada tahun 2007.
Selanjutnya, dikeluarkan keputusan Menteri Kesehatan No.381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KOTRANAS) dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1109/Menkes/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. Tentang KOTRANAS
Pada tanggal 27 Mei 2008, Hari Kebangkitan Jamu Indonesia diresmikan Presiden Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudoyono, di Istana Merdeka sekaligus meresmikan Jamu sebagai brand Indonesia.
Gelora Jamu seakan mewarnai kembali kebijakan pemerintah setelah pencanangan tersebut yaitu dalam bentuk Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pada pasal 48 ayat 1 (2) disebutkan bahwa dari 17 upaya kesehatan, tercantum upaya pelayanan kesehatan tradisional yaitu pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan ketrampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Pada saat bersamaan, Kementerian Kesehatan menyusun Standar Pelayanan Medik Herbal yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 121/Menkes/SK/II/2008 diikuti dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No 261/Menkes/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia edisi pertama.
Pola pikir PB IDI juga berubah dan mendukung kebijakan pemerintah tersebut dengan membentuk Bidang Kajian Pengobatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer pasca Muktamar IDI ke-27 di Palembang tahun 2009.
Dilian pihak, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) FK pada tahun 2010 menyusun rekomendasi pemanfaatan Jamu, hasil seminar nasional “Prospek Pengembangan Jamu di Indonesia Menuju Indonesia Sehat: Harapan dan Tangtangannya” yang kemudian dikirimkan kepada Menteri Kesehatan RI.
Beberapa pertemuan nasional tentang Jamu mengusulkan penambahan kata Jamu kepada BPOM RI yaitu Peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal terstandar dan Fitofarmaka, menjadi “Jamu Obat Tradisional, Jamu Obat Herbal Terstandar dan Jamu Fitofarmaka”.
Sayangnya, hingga 3 kali pergantian Kepala Badan POM, usulan tersebut masih tetap dalam pertimbangan.
Pada tahun 2007, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI memprakarsai isian kuesioner Riskesdas 2007 tentang pemanfaatan Jamu oleh masyarakat Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa 35,7% masyarakat menggunakan Jamu dan lebih dari 85% di antaranya mengakui bahwa Jamu bermanfaat bagi kesehatan.
Riskesdas 2010 ternyata menunjukkan peningkatan hasil yaitu 59,12% dari 35,7% dan 95,6% dari 85%.
Selain pencapaian hasil yang bermakna dalam riskesdas 2007 dan 2010, disiapkan pula program Saintifikasi Jamu (SJ) untuk membuktikan secara ilmiah bahwa jamu efektif untuk indikasi tertentu dengan metode penelitian berbasis pelayanan.
Pada awal tahun 2010, diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/Menkes/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian berbasis Pelayanan Kesehatan. Hingga saat ini, telah menghasilkan 200 dokter yang tersebar di hampir seluruh wilayah/provinsi/kabupaten di Indonesia.
Masalah baru timbul, ketika mereka tidak mendapatkan SBR dari Dinas Kesehatan Kota, tempat mereka berasal dengan alasan Dinas Kesehatan tidak mengetahui program SJ.
Masalah lainnya adalah ketika PB IDI pasca-Muktamar IDI ke-28 di Makassar pada tahun 2012 menghapuskan Bidang Kajian Pengobatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer, sehingga secara tidak langsung nota kesepahaman (MoU) antara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI dengan Ketua Umum PB IDI tidak berlaku lagi.
Akibatnya, dokter lulusan program SJ tidak akan mendapatkan izin praktik penelitian berbasis pelayanan jamu di tempat mereka bekerja.
Penelitian jamu tetap berlangsung di institusi pendidikan tinggi di Indonesia, bahkan beberapa di antaranya telah melakukan uji klinik, namun, kembali timbul kendala saat akan dilakukan registrasi di BPOM.
Registrasi ternyata hanya diberikan kepada industri jamu yang mengusulkan hasil penelitiannya untuk mendapatkan kriteria sebagai jamu/obat tradisional atau obat herbal terstandar atau fitofarmaka dengan kewajiban mengikuti pedoman uji klinik BPOM.
Dengan demikian, hasil penelitian perguruan tinggi tersebut tidak dapat dikembangkan ke pemasaran dan lagi-lagi banyak dokter belum dapat menerimanya sebagai bukti ilmiah karena tidak teregistrasi di BPOM.
Uji klinik yang disyaratkan BPOM masih menggunakan pedoman uji klinik untuk obat konvensional. Jadilah keberadaan dan kemanfaatan jamu terpuruk di negara sendiri karena kebijakan yang kaku dan sulit dibenahi, masing-masing mempertahankan kebenarannya yang juga diwariskan secara turun temurun tanpa mengikuti perkembangan dunia.
Setelah Indonesia mengikuti empat kali konferensi Herbal Medicine se ASEAN, hasil konferensi ke-4 di Kuala Lumpur tahun 2012 membuka dan memberi pencerahan kepada pemegang kebijakan di BPOM untuk mengevaluasi dan menyusun pedoman uji klinik khusus jamu/ obat tradisional Indonesia.
Kriteria registrasi ditambah dari 3 menjadi 5 dengan memasukkan hasil uji praklinik (A) dan uji klinik (B) dari institusi pendidikan tinggi yaitu (A) di antara jamu dan OHT dan (B) di antara OHT dan fitofarmaka.
Semoga terealisasi.